J O G J A
Kehidupan baruku baru saja dimulai . Lalu masa laluku ? Sudah kubuang !! Apa ? Aku buang ??? TIDAK !! Sebenarnya aku tak pernah sedikitpun menghendaki hal itu pergi . aku kehilangan . Aku benar-benar K-E-H-I-L-A-N-G-AN . Siapa ?? DIA , bagian dari serpihan masa laluku yang kelam . Menyedihkan memang . Sangat menyedihkan . Mengingat aku hanya seorang gadis yang belum genap tujuhbelas tahun .
Disini . Aku akan mencoba menjadi ‘aku’ yang aku mau . Banyak yang berkata ‘aku tak seperti layaknya gadis pada umumnya’. Dan mungkin itu memang benar . Tapi saat ini , inginku berubah semua ! Segala tingkah lakuku , perkataanku , akan aku rubah . Aku ingin , dan aku berniat .
*
Jogja. Seingatku kota ini dingin dan sejuk. Tapi tak terasa panas juga hawanya. Tak beda jauh dari Semarang. Yah tapi setidaknya jalanan yang teratur lebih memudahkanku untuk bertransportasi kemana-mana. Butuh penyesuaian pada hari pertama di tempat ini. Dan yang pasti aku butuh ‘tempat tinggal’. Mungkin kost-kost-an ? Atau aku harus mengontrak gubuk kecil ? Bagaimana dengan menyewa apartemen ? Atau lebih baik aku singgah di hotel saja ?
Aaaaarrrggghhh !!! Bodoh sekali aku . Jelas ketiga pilihan terakhir tak bisa kupilih untuk jadi alternative. Mungkin tinggal di kost kost-an bukan ide yang buruk. Berapa hari aku harusbertahan di kota Gudeg ini ?? Sepekan ?? Dua pekan ? Sebulan ?
*
“Silahkan nduk! Ini kunci kamarnya.” Kata ibu kost yang agak gemuk itu.
Aku merogoh tasku, mencari dompet coklat yang terselip diantara tumpukan kertas dalam tas. Mengambil uang sebanyak lima lembar dan menyerahkannya kepada Ibu itu sebelum akkhirnya menerima kunci kamar kost ku.
“Empat ratus lima puluh ribu untuk tiga bulan penyewaan.’ Cerocos Ibu kost itu bak seorang tour guide.
“Iya ..” sahutku singkat.
“Ini kembaliannya. Selamat beristirahat,” kata Ibu itu dengan menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Satu lagi!” serunya saat aku muali berbalik. “Kau bisa panggil saya ‘Mami’.” Katanyasambil tersenyum.
Sepersekian detikk aku terbengong karna tiba-tiba logat dan gaya bicaranya seperti orang Jakarta. Padahal tadi Ibu kost, maksudku Mami, terdengar berdilog dengan menggunakan aksen jawanya yang medok kental. Mungkin saja Mami memang orang asli Jakarta yang sudah lama tinggal di Jogja ini.
*
Well, kamar yang tidak terlalu buruk. Tidak besar dan tidak terlalu kecil. Sebuah kasur busa yang terletak di lantai, dengan alas karpet hijau. Sebuah lemari pakaian mini terletak di sudut, dan meja rias beserta cerminnya berdiri indah di sampingnya. Jendela yang langsung menghadap ke taman. Pemandangan cukup indah. Setidaknya bisa menjadi tempat minggatku selama tiga bulan ini.
*
Kasur yang berlapis seprei bersih pemberian Mami kini bergumul dengan lekukan tubuhku. Rasanya nyaman sekali melepas lelah dan tegangan di otot, terutama daerah pinggang.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Tak ada rencana keluar di malam minggu ini. Meskipun kakiku geregetan ingin menyusuri Jogja di malam hari. Kuputuskan untuk tetap tinggal di kamar kost yang hangat ini.
Sesaat ku pandang langit-langit kamar berwarna tulang. Namun sesaat kemudian terbayang sosok Ibrahim dengan senyuman manisnya itu. Lelaki kelahiran Jepara itu tak pernah bisa lepas dari bayangan kepalaku. Terkadang rindu menyeruak masuk dalam otakku tatkala aku memikirkanya. Apa ini ??? Cinta ?? Terlalu dini kusimpulkan. Bahkan pertemuan peramaku tak berkesan keakraban dengannya.
Sakti. Hhhhh.. Lagi-lagi sosok itu muncul. Kenapa? Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sediri untuk tidak sedetikpun memikirkannya ? Lalu kenapa? Harus ku lupakan semua! Dia hanyalah pacar sahabatku! Bukan seseorang yang penting di hidupku! Lupakan ! TIDAK ! Kenapa tidak bisa ? Akankah aku menjadi penghianat ? Aku tak mau berkhianat! Apalagi untuk sahabat! Aku tidak mau!
“Dddrrrrttttt……” getar HP ku terdengar nyaring.
Sebuah pesan dari sesosok nama yang kurang kusukai ‘Dewi’. Ahh, malas rasanya menanggapi isi SMS yang, mungkin, tidak terlalu penting itu.
.mbag cantik lg apa??
.kmu malming kmana mbag??
Hahhh… Malas sekali membalasnya. Kenapa dia SMS aku ? Apa alasannya ? Sengaja ingin membuatku cemburu? Apa dia pikir dia bisa memporah-porandakan hatiku? Apa dia pikir aku akan terus berlarut-larut dalam kehancuran? Apa dia pikir dia sudah menang jika telah mendapatkan seorang lelaki bekasku yang bernama Wahyu?
PERSETAN dengan itu semua !! Aku bisa hidup tanpanya! Aku bisa tanpa mereka!
* * *
“Duk..duk..duk.. Mbak! Permisi mbak!”
Ugh! Apa lagi ini ? Berisik sekali! Sepertinya aku kenal suara ini. Aksen medoknya yang sesekali berlogat Jakarta. Ugh! Mengganggu hibernasi panjangku di hari minggu ini.
“Ya ada apa bu? Mmhh, maksudku Mami? Ada yang bisa saya bantu?” kataku datar setelah membuka pintu kamarku.
“Wah, masih tidur ya nduk? Mami ganggu nggak nih?”
“Hoooaammm!!” aku menguap. “Nggak kok Mi. Aya naon?”
“Ini.” Mami menyodorkan sepiring penuh pisang goreng. Mataku terbuka lebar. Kantuk menghilang seketika.
“Buat saya Mi? Yakin?” aku langsung menyahut pelan piring di tangan Mami.
“Iya, nduk. Di kebun belakang lagi panen pisang. Endhuk suka?”
“Iya Mi.” kucomot sepotong, lalu kulahap. “Makasih ya Mi? Mami baik banget.”
Mami tampak tersipu. Yah untuk kebaikannya memberiku sepiring makanan kesukaanku ini, aku hargai itu. Sempat berbasa-basi sedikit. Sampai akhirnya aku telah singgah di pinggir tempat tidurku, menikmati pisang goreng yang hangat ini.
Aku sudah tebangun. Menikmati sarapan pisang goreng ini. Lalu mau apa lagi? Kembali ber-hibernasi panjang? Kurasa itu pilihan bodoh. Hmm, bagaimana dengan mencuci baju? Sepertinya kegiatan itu yang sering dilakukan oleh anak-anak kost. Tapi tunggu dulu, bahkan baru semalam aku menginap ditempat ini. Aku bahkan tak punya pakaian kotor, ya setidaknya untuk saat ini.
Bagaimana dengan keliling kota Jogja? Kurasa bukan ide yang buruk. Tapi aku tak benar-benar yakin kalau Jogja kota yang aman untuk seorang gadis yang sedang kabur dari rumah seperti aku. Aku selalu mentakutkan hal-hal yang mengkhawatirkan terjadi padaku. Selalu berfikir dan memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bimbang.
* * *
SELTER MALIOBORO (II)
Wow! Aku hampir tak percaya aku senekat ini. Semula ide minggat ke Jogja hanya iseng terlintas dibayanganku saja. Jangankan untuk pergi ke Jogja, aku keliling Semarang secara lebih mendetail saja belum pernah.
Well, aku mengakui bahwa aku belum pernah sekalipun melihat bangunan tua di Semarang yang bernama Stasiun Tawang. Hah.. Memalukan bukan ? Bukan karna aku kurang update atau katrok, atau ndeso, atau apalah itu bahasa sejenisnya. Tapi 'waktu'. Terdengar lucu memang, aku tak punya waktu untuk mengenal tempat-tempat penting di kota sendiri. Tapi itulah kenyataanya.
Namun sekarang aku terbang bebas!! Kini singgah di peradaban baru untuk sementara waktu. Berdiri ditengah dunia asing. Kurasa aku mulai menikmati petualanganku ini.
Dimana ini? Inikah kawasan malioboro? Jadi seperti ini suasananya. Kupandangi sekitar dari dalam ruang kaca yang kalau aku tak salah baca, namanya Selter Malioboro (II). Aku merasa senang. Dadaku bergemuruh. Yah, aku benar-benar bebas! Tak ada seorangpun yang mengenali aku disini! It's my life!
"BRUGHHH...!"
"Awwww..!!!"
Seseorang menabrakku. Seorang lelaki, bukan tapi pria berbrewok, membawa gitar. Senar gitarnya yang tersisa pada neck menggores pipiku. Sakit..
"Ma..ma..maaf.." ucapnya gugup. Tangannya mengusap kebagian yang terasa sakit. Ibu jarinya tampak berlumurkan cairan kental berwarna merah.
"Maaf! Maafkan aku.." pria itu membungkuk lagi.
"Sudahlah. Aku baik-baik saja. Wow! Apakah yang tertempel di jarimu ini darahku?" aku berusaha menghiburnya agar tak terlalu merasa bersalah.
"Tap..tapi.. Kau terluka.." ujarnya lagi.
Aku duduk dalam ruang kaca yang lumayan sepi ini. Diikuti pria itu tadi. "Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil."
“Tapi.. tapi ..”
“Hey, aku bilang aku baik-baik saja. Apa tampangku kurang meyakinkan?” kudekatkan wajahku padanya. Sempat kulirik wajahnya memerah.
*
“Jadi, apa kau akan tetap duduk disampingku hingga besok pagi?”
“Emhhh .. ehhhh..”
Pria itu sepertinya gugup. Senja hampir tiba. Aku masih duduk terpaku dalam Selter yang tak pernah sepi. Dan pria itu, entahlah aku tak tahu namanya, dia masih setia duduk disampingku. Dia hanya diam. Sesekali melirikku atau menerawang jauh kedepan. Betah sekali.
“Hey? Apa kau orang baik?” tanyaku tiba-tiba.
Bodoh! Kenapa aku menanyakan hal konyol seperti itu? Pria itu mengernyitkan dahinya. Pasti di dalam benaknya dia menertawakanku.
“Apa kau takut diculik?” tanyanya balik.
Aku menoleh kearahnya. Matanya begitu indah. Kuperhatikan wajahnya. Dia terlihat masih muda. Dan baru kusadari ketampanan tersirat dari raut wajahnya. Tapi sekilas matanya menyampaikan sesuatu yang berbeda. Dia menjadi seperti orang lain. Aku takut. Tiba-tiba sosoknya jadi begitu angker dimataku.
“Apa yang kau lihat!?” tak sadar sentakan keluar dari mulutku.
Dia memalingkan wajah. Memandang jauh keluar. Lalu tertunduk. Dia aneh. Sempat terlintas prasangka-prasangka tak baik tentang dirinya. Tapi seketika kutepis semua itu. Bahkan kugeleng-gelengkan kepalaku dengan keras.
“Apa kau sakit kepala?” tanyanya.
“Apa kau pura-pura baik padaku?” ahhhhhhhh!! Konyol! Ku pertanyakan prasangka burukku padanya. Aku benar-benar terlihat seperti orang bodoh.
“Hahaha..” Dia tertawa. Hey, dia tertawa? Berarti benar. Aku terlihat sangat sangat konyol! Huh!
*
Tawanya menjadi awal perbincangan hangat kami. Frans. Nama yang sangat mudah kuhafal. Tak kusangka dia bisa membawa diri dan cepat sekali akrab denganku. Sepertinya dia bukan orang jahat. Tapi aku perlu membodohkan diriku sendiri karena sudah menceritakan latar belakang kehidupanku pada orang yang baru kukenal. Termasuk soal aku minggat ke Jogja ini. Stupid me!
“Wow. Berapa umurmu? Berani sekali pergi ke kota ini sendirian?”
Sudah kuduga. Pasti dia akan menanyakan hal seperti ini. Umur? Percuma aku menjawab. Paling dia tak akan percaya.
“Anggap saja usiaku sekarang ini seperti usia fisikku yang kau lihat saat ini.” Ujarku agak dingin.
“Hmmm… baiklah. Aku hanya memastikan bahwa kita tak seperti ‘anak dibawah umur yang kencan dengan om-om’.”
“Ahh.. Lupakan.”
Matahari sudah menyembunyikan sinarnya. Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh. Selter tempatku singgah sudah tak seramai tadi siang. Frans juga lebih sering mengutak-atik keypad handphone-nya.
Kuputuskan untuk kembali kekost. Teringat aku belum makan dari tadi siang. Perutku merintih keroncongan.
“Aku duluan ya?” pamitku pada Frans.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Ya pulang lah. Kau aneh sekali.”
“Oh. Hati-hati. Jogja mulai tidak aman pada malam hari. Para buaya kuliahan tak akan tinggal diam melihat gadis sepertimu sendirian malam begini.” Cukup singkat memang, namun aku membenarkan nasehatnya.
Aku melambai dan tersenyum kecil padanya ketika memasuki trans Jogja. Dia membalas lambaianku tanpa tersenyum.
* * *
2 comments:
hajimemashite.... yoroshikunee....
wah mbuh lali meh komeng ap, sok neh ae ya...
kapan kapan mampir nggonku... jaa...
hahahhaa okeoke :) heee ambune marai ngelehh :'(
Post a Comment