“Daiva tunggu!” seru wanita paruh baya sambil terus berlari mengejar gadis yang dipanggilnya ‘Daiva’ itu.
Daiva tak menghiraukan panggilan itu. Langkah kakinya yang lebar itu terus melaju menembus derasnya hujan. Dibalik langkahnya yang mulai gontai, Daiva tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Setelah beberapa lama tak mendengar panggilan dari wanita yang mengikutinya, Daiva berhenti disebuah pos ronda.
Ia mengusap air mata yang bercampur air hujan di wajahnya. Celana panjang dan sweater yang di kenakannya basah kuyup. Daiva mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Ketika ibu dan kakaknya sedang membicarakan rencana penjualan rumah. Daiva tak bisa terima begitu saja rumah satu-satunya kenangan pemberian almarhum ayahnya itu di pindah tangankan.
“Kenapa ibu dan Mas Prada begitu jahat…” isaknya lirih.
Disela-sela tangisnya, Daiva mendengar suara mobil berhenti tak jauh dari tempatnya duduk. Lalu suara langkah kaki tiba-tiba mendekat.
“Daiva..” sapa seorang lelaki.
Daiva menengadah. Memandang sesosok yang berdiri dihadapannya. Seseorang yang tak jarang melontarkan kritikan untuk dirinya.
“Javas?! Kenapa kau kemari?” suara Daiva lirih namun tersirat kekagetan didalamnya.
“Ibumu tadi menelpon Kiran.” lelaki yang dipanggil Javas itu menghela nafas. “Menanyakanmu”
“Apa? Kiran?” Daiva membayangkan sosok centil yang selalu berbisik pada Reifa, ketika dirinya lewat didepan mereka.
“Mau apa? Lalu apa hubungannya denganmu!?” nada bicara Daiva meninggi.
“Apa kau tak ingat aku dan Kiran saudara kembar? Kiran sedang sakit. Dia bilang padaku dan menyuruhku untuk mencarimu.” ujar Javas.
“Untuk apa!? Aku tak sudi pulang kerumah!”
“Daiva, ayolah.. Jangan seperti anak kecil!”
Daiva menatap Javas tajam. Lagi-lagi ia mengkritik Daiva. Ini bukan untuk yang pertama Daiva dikatakan seperti anak kecil.
“Bisakah kau berhenti memperolokku!?” pekik Daiva.
“Ikutlah aku. Akan kuantar ke rumahmu.” Kata Javas seraya memapah Daiva.
Daiva tak bisa menolak. Badannya lemas dan kepalanya sangat berat. Ia pun hanya menurut saja pada Javas.
***
Pagi hari yang dingin. Sedingin sikap Daiva pada Ibu dan Prada, kakaknya. Walaupun semalam Javas berhasil membawa Daiva pulang kerumahnya.
“Sampai kapan mau diemin Ibu, nduk?” ucap Prada.
Daiva berlalu begitu saja setelah meneguk susu.
“Daiva! Inikah sikapmu?!” pekik Prada. Namun Daiva berlalu begitu saja.
Ketika disekolah, Daiva merasa ada yang aneh. Tidak seperti biasa Kiran diam saja ketika ia lewat didepannya. Namun Daiva menjadi makin terasing. Apalagi ketika teman-teman sekelasnya tampak berbisik-bisik ketika dirinya lewat.
“Bagaimana kabarmu?” ujar seseorang.
Daiva menoleh. Javas. Lagi-lagi lelaki itu muncul dihadapannya. Dengan seenaknya mengganggu ketenangannya.
“Kau lagi! Bisakah kau tidak menggangguku, Tuan Javas Pasada?” tekan Daiva.
“Daiva, sampai kapan kau mau menutup hatimu?”
Daiva diam. Seakan ia muak dengan kata-kata Javas. Matanya menyapu sekeliling kelas. Menatap orang-orang yang masih terus berbisik.
“Daiva Sasikirana. Lihat sekelilingmu dan bla … bla … bla …”
Javas terus bicara. Dan tidak sekalipun Daiva mengindahkannya. Bahkan saat pelajaran pun masih sempat membisikkan kata-kata yang lagi-lagi hanya dianggap angin lalu oleh Daiva.
“Kringggggg… kringgggggg… kringgggggg…”
Bel istirahat berbunyi. Daiva segera meninggalkan kelas menuju kamar mandi. Tempat favoritnya.
Daiva duduk di tutup closet di salah satu toilet. Ia mengunci diri di dalam toilet. Tangannya mencorat-coret buku berwarna abu-abu. Seperti mencurahkan isi hati.
Aku untuk diriku .. Dunia terasa begitu jahat .. Tidak adil .. Puaskah dunia sakiti aku ? Senangkah mereka Diatas tangisku ? Aku hanya sendiri ..
Aku untuk diriku .. |
Daiva menengadah. Menghela nafas beberapa kali. Sambil mengingat kejadian hari-hari lalu.
Penjualan rumah ayah. Ibu dan Mas Prada sama-sama jahat. Kiran dan Reifa. Javas dan yang lainnya. Kenapa mereka selalu memperolokku?
“Psssstttt … Kalian tau Daiva?”
Samar-samar terdengar percakapan diluar toilet tempat Daiva merenung.
“ . . . . . . dia didekati Javas, tapi . . . . . “
“Kau benar . . . . . dia agak . . . . . , kasar sekali cara bicaranya . . . . “
“Iya . . . . sepertinya . . . . Bukankah ayahnya sudah tiada . . . . . .?”
Daiva terisak. Dadanya sesak menahan tangis. Ia membenarkan kata hatinya. Teman-teman selalu memperoloknya. Ia mengambil ancang-ancang. Siap menembus kerumunan orang diluar toilet.
***
Kiran dan Reifa masih menata rambutnya ketika seseorang menerobos diantara mereka dan teman-teman lainnya.
“Hey .. Siapa dia?” tukas Reifa.
“Entahlah, tapi sepertinya dia sedang terburu-buru.” Jawab Kiran. Sambil terus memandangi sosok tadi yang telah berjalan menjauh.
“Apa kau pikir Daiva orang baik?” Tanya Ata.
“Tentu saja!” jawab Kiran lantang.
“Aku ingat ketika umur empat tahun. Kita sama-sama masih di Taman Kanak-kanak. Daiva yang selalu memberiku permen ketika aku menangis.” ujar Kiran.
“Taman Kanak-kanak? Jadi dulu kau satu pendidikan dengannya?” Reifa terkejut.
“Iya ..” Kiran tersenyum.
“Lalu Javas? Bukankah kalian kembar? Kenapa bukan dia yang menghiburmu?” lanjut Muna.
“Javas tinggal di Austria awal Taman Kanak-kanak hingga lulus SD.” Jelas Kiran.
“Tapi bukankah Daiva selalu membuang muka pada kita?” tukas Muna lagi.
Kiran termenung. Mengingat Daiva selalu membuang muka ketika lewat didepannya. Padahal ia selalu ingin menyapa Daiva secara baik-baik.
“Mungkin Daiva belum sadar ..” jawab Kiran lirih.
***
Disisi lain. Daiva terus berlari jauh dari sekolahnya. Masuk ke perkampungan penduduk. Wajahnya memerah. Mata sipitnya terlihat sembab dan basah oleh air mata.
Sesekali ia berhenti untuk mengatur nafas. Lalu berlari lagi dan menjatuhkan diri di tumpukan jerami di pinggiran sawah.
Daiva terisak. Meratapi hidup yang terlanjur ia anggap sebagai tragedi memilukan di masa mudanya. Ia sempat menyesali kenapa dirinya terlahir.
***
“Daiva kemana yo, nang? Sudah jam 9 malam kok belum pulang?” ujar Ibu panik.
“Prada nggak tau, bu. Prada sudah coba hubungi teman-teman Daiva. Tapi tidak ada kabar sama sekali.”
“Ya Allah .. Kemana to putriku wedok itu. Ibu terus terang nyesel nang, sudah dengan seenaknya menjual rumah dari Bapakmu."
“Sampun bu. Menika boten salah Ibu. Daiva saja yang belum mengerti kenapa kita terpaksa menjual rumah ini.”
“Ibu tau. Tapi tetap saja seharusnya kita juga minta persetujuan Daiva.”
Ibu menghela nafas.
“Tapi ibu begini supaya Daiva tetap bisa melanjutkan sekolah. Biar sampai perguruan tinggi.”
Ibu kini menangis. Prada memeluk erat tubuh Ibu yang sangat ia sayangi itu.
“Tok .. tok .. tok ..”
Prada melepaskan pelukan dari Ibu. Segera berlari kecil kearah ruang tamu. Berharap yang mengetuk itu adalah Daiva.
“Mas Prada ..” sapa seseorang dibalik pintu.
“Oh Javas. Bagaimana? Sudah dapat kabar dari Daiva?” tanya Prada menggebu.
“Ini Mas, apa ini milik Daiva?” Kiran yang ikut serta dibelakang Javas menyodorkan sebuah buku berwarna abu-abu.
Prada mengamati dan membolak-balik halaman buku kecil itu.
“Ini diary milik Daiva. Darimana kau dapatkan ini? Setahuku buku ini sangat rahasia dan tak pernah sekalipun jatuh ke tangan orang lain.”
“Adikku menemukannya di depan pintu kamar mandi. Bukan begitu Kiran?” tukas Javas.
“Iya. Sekilas kulihat sepertinya aku mengenal tulisan ini. Namun aku ragu. Maka dari itu aku tanyakan ke Mas Prada.” Ujar Kiran.
“Kenapa bisa tertinggal di depan pintu kamarmandi ya?” Prada menggumam.
Disamping itu Kiran mengingat kejadian siang tadi. Matanya terbelalak kemudian. Mengingat ada seseorang yang dengan buru-buru menerobosnya dan teman-teman lainnya ketika dikamar mandi.
Kiran masih tak yakin bahwa sosok tadi adalah Daiva. Kalau memang benar gadis itu adalah Daiva, maka pasti ia dengar semua percakapan Reifa dan yang lainnya, termasuk dirinya.
“Daiva pasti salah paham!” pekik Kiran tiba-tiba. Membuat Prada dan Javas kaget.
“Apa maksudmu? Kenapa salah paham?” tanya Javas mengernyitkan dahi.
Lalu tiba-tiba dari arah dalam Ibu muncul. Melihat yang datang adalah teman-teman Daiva, segera saja Ibu membanjiri Kiran dan Javas dengan pertanyaan yang sama.
“Bagaimana? Sudah dapat kabar dari Daiva?”
“Belum , bu. Ibu tak usah terlalu panik. Daiva pasti baik-baik saja.” Prada mencoba menenangkan Ibunya.
“Aku harus jelaskan semua pada Daiva. Mas, apa kamu tahu tempat yang biasa Daiva datangi pada saat-saat seperti ini?” tanya Kiran. Masih dengan kepanikannya.
“Sepertinya aku tau!” seru Javas. “Ayo ikut aku!”
Javas berlari ke mobilnya. Dia mengambil alih kemudi. Dengan Prada di sebelahnya. Sedangkan Kiran di belakang menenangkan Ibu.
***
Mobil Javas melaju kencang. Menuju tempat pertama kali ia menjemput Daiva dulu.
Gelap. Itulah kesan pertama yang diberikan pada tempat ini. Tak ada tanda-tanda Daiva di tempat seperti ini.
“Dimana Daiva nang?” Ibu mulai terisak.
“Sssttt tenang. Coba dengar baik-baik.” Ucap Prada.
Samar-samar terdengar isak tangis. Dibalik pohon. Perlahan Kiran mendekati tempat itu.
Didapatinya sosok Daiva yang berantakan. Matanya sembab dan terus-terusan mengeluarkan airmata. Kiran tak kuasa meliahat Daiva seperti itu. Tanpa pikir panjang, Kiran memeluk Daiva.
Daiva kaget tiba-tiba ada seseorang yang memeluknya. Namun ia tak bisa menolak karena badannya sudah sangat lemas.
“Daiva .. Maafkan aku ..”
Daiva mengenal suara orang yang memeluknya itu.
“Kau pasti salah paham. Kau pasti mendengar percakapanku tadi dari toilet? Semua tak seperti yang kau kira Daiva .”
Hati Daiva tergetar. Benarkah semua itu?
“Apa kau Kiran?” tanya Daiva lemah.
“Iya. Aku Kiran. Orang yang selalu ingin bersahabat denganmu. Ingatkah kau semasa kita di Taman Kanak-kanak dulu? Kau selalu menghiburku dengan permen coklat yang Ibumu buat? Kaulah yang temani sepiku saat Javas tinggal di luar Indonesia ..
“Ingatkah itu Daiva? Dan apa kau tau, aku selalu ingin menyapamu. Namun kau selalu memalingkan wajahmu. Aku pikir kau membenciku ..”
Daiva mendengar setiap kata yang terdengar dari mulut Kiran dengan seksama. Sambil merenungi semua itu. Daiva meneteskan airmata lagi. Dan kali ini air mata penuh penyesalan.
“Maaf ..” hanya itu yang dapat Daiva ucapkan. Karna penyesalannya yang terlalu besar.
Ibu datang dan memeluk mereka berdua. Begitupula Prada dan Javas. Tak perlu penjelasan panjang lebar, Daiva sudah mengerti bahwa Ibu terpaksa menjual rumah itu karena masalah perekonomian yang melanda keluarga Daiva.
Daiva kini benar-benar sadar dan bersyukur memiliki keluarga dan teman seperti mereka.
***
Pagi yang benar-benar berbeda. Daiva tak lagi membuang muka pada teman-temannya. Kini ia umbarkan senyum keramahan.
Kejadian semalam dan berbagai penjelasan saat ia sampai di rumah telah membuat Daiva mampu melihat kehidupan dari perspektif lain. Dan ia pun tak lagi menganggap hidup yang ia alami sebagai tragedi. Tapi merupakan berkah yang tak setiap orang mengalaminya.
***
Aku untuk diriku .. Dunia ini begitu adil .. Tuhan menciptakan manusia sangat beragam .. Aku bahagia bisa hadir dikehidupan mereka =) ..
Aku bersama mereka ..
Aku untuk mereka .. =) |
“Daiva! Ayo ikut kami ke kantin!” seru Reifa.
Daiva tersenyum bahagia. “Ya, tunggu sebentar!”
**end**