Sebelumnya saya berterimakasih untuk sebuah band indie dan lagu-lagunya yang telah mendorong saya menuliskan coretan ini. Inspirasi dari sebuah lagu yang bahkan tidak kuketahui pasti apa makna dibalik liriknya .
Black Star - MIASMA
Aku
sama sekali tak mengerti jalan pikiran manusia manusia disekelilingku. Entah
apa yang membuat mereka begitu kokoh dan teguh pada egoisme masing masing.
Entah ayah, entah ibu, entah paman maupun bibiku . Tak terkecuali kakak
kakakku.
Mereka
begitu kerap mendesakku masuk dalam pikiran pikiran berbeda mereka. Seolah aku
seperti seorang anak kecil yang bingung akan kemana arah tujuanku, dan seolah
olah mereka bagai pahlawan yang mengantarku pada ‘jalan’ yang menurut merek
benar.
Entahlah.
Apapun yang selalu mereka utarakan, aku selalu punya pilihan sendiri atas
hidupku. Aku tidak pernah percaya pada siapapun. Karna memang aku tidak pernah
punya siapa siapa untuk kupercayai. Lalu mereka? Ya, mereka tidak pernah benar
benar ada. Sedikitpun mereka hampa!
***
Apakah
kau tahu rasanya dipungut dari panti asuhan? Apakah kau pernah merasakan seolah
orang orang disekelilingmu hanya membual dan menjanjikan hal-hal yang indah,
tapi tak pernah terealisasikan? Umurku mungkin masih kecil pada waktu itu.
Namun logika dan perasaanku rupanya tumbuh lebih dewasa dari hanya sekedar
fisik anak-anakku.
Aku
tak cukup pandai, tapi aku cukup paham mengapa ayah dan ibu ‘angkatku’
memungutku dari sebuah panti asuhan miskin, yang bahkan tidak perlu repot
mengurus surat surat pengadopsian anak. Mungkin Suster Bernadeth sudah lelah
dan ingin segera membuang seluruh isi panti, kepada siapapun orang yang ingin
memungut anak secara ‘gratis’.
Mungkin
tak benar benar gratis, karna ketika ibu membawaku masuk kedalam mobil, kulihat
ayah menyerahkan amplop cokelat yang tak terlalu tebal pada Suster Bernadeth.
Suster paruh baya itu menatapku seolah merasa bersalah karena membiarkanku
pergi dari tempat itu secara tidak ‘terhormat’.
Ya,
mereka tidak benar benar ingin mengadopsiku sebagai seorang ‘anak’. Melainkan
hanya sebagai status palsu. Aku tidak mengerti bahwa aturan dikeluarga ayah
mengharuskannya mempunyai keturunan perempuan. Dan memang kulihat ibu hanya
memiliki anak laki-laki. Empat anak laki-laki yang kurasa usianya cukup jauh dari
usiaku.
“Jadi
siapa namamu?” ayah yang memulai percakapan itu.
“Thea”
jawabku singkat.
“Nama
yang bagus,” celetuk ibu.
“Berapa
umurmu sayang?” saat itu kurasa ayah lah yang paling baik.
“Empat
belas tahun, Tuan,”
Ayah
hanya tertawa kecil mendengarku memanggilnya ‘Tuan’. Tapi kurasa ibu tidak
terlalu menyukainya. Dia menatapku tajam. Mengamati wajah dan tubuhku.
“Dengar
gadis kecil, sudah tidak ada waktu lagi untuk masa perkenalan. Ingat, panggil
aku ibu. Dan orang yang kau panggil tuan tadi adalah ayahmu. Namamu bukanlah
Thea. Tapi Miranda . Dan kau adalah … bla.. bla.. bla..”
Tepat
saat itu juga aku tidak ada niat sedikitpun
untuk percaya lagi pada semua bualan dari manusia manusia
disekelilingku. Termsuk mereka. Ayah yang saat itu kupikir yang paling baikpun
ternyata hanya menginginkan sebuah status bahwa dia mempunyai seorang anak
perempuan.
Ternyata
maksud mereka mengadopsiku karena satu minggu setelah aku dipungut dari panti,
Kakek, ayah dari ayahku akan datang menetap dirumah ayah. Dan ternyata selama
hampir empat belas tahun ayah dan ibu telah membohongi kakek dengan bualan
mereka yang mengatakan bahwa mereka memiliki seorang putri bernama ‘Miranda’.
***
Bisa
kau bayangkan, sekeluar aku dari panti aku menjadi seorang artis yang berperan
sebagai cucu kesayangan dari seorang ‘pengusaha kaya’. Aku bisa merasakan
betapa kakek sangat menyayangiku. Dan dia benar benar percaya bahwa aku
‘Miranda’-nya yang telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik.
Oh
kakek yang malang. Kenapa kau percaya begitu saja pada semua omongan ayah dan
ibu. Lagi kenapa ayah dan ibu harus melakukan ini semua? Membeli ‘putri palsu’
untuk berpura pura menjadi cucu yang baik?
“Apa
kau bodoh? Atau hanya pura pura polos?” celetuk Timothy, kakak tertuaku.
Aku
sempat kaget karna kedatangannya yang tiba tiba dibelakangku. Dia mendengar
gumamanku tentang ayah dan ibu rupanya.
“Maksudmu
apa Tim?”
“Miranda,
kau bukan gadis kecil lagi. Apa kau belum sadar bahwa ayah dan ibu mengincar
warisan kakek?”
“Apa?
Wa.. wa.. warisan?! Ma.. maksudmu apa Tim?!” aku sedikir telonjak kaget.
Memastikan
telingaku tidak salah mendengar. Kudesak Timmy untuk menjelaskan semua.
Kupikir aku
hanya sekedar ‘anak palsu’ untuk melengkapi keluarga besar ini saja. Tapi
ternyata kehadiranku berperan lebih jahat dari itu. Apa aku bahagia mendengar
bahwa aku adalah kunci utama warisan kakek? Tidak! Yang kuharapkan awalnya
hanya mendapat kasih dari ‘orang tua’ yang nyata. Tapi ternyata kebodohanku ini
terlalu dimanfaatkan oleh mereka.
Aku menangis. Bukan hanya karna
keadaanku. Tapi karna detik itu ternyata aku sudah menanam kasih yang besar
pada kakek. Dan kurasa hanya aku yang mengasihi kakek waktu itu. Sedang mereka
seolah menantikan kematian kakek dan segera mendapatkan warisan itu.
“Bodoh! Kenapa
kau menangis?” Timmy yang melihat wajahku basah oleh airmata rupanya panik
kalau kalau ayah, ibu, atau kakek melihatku begini.
Timmy
menggeretku ke lantai atas, menuju kamarnya. Dia menutup rapat pintu dan
mendudukkanku di samping tempt tidurnya.
“Bagai
mana mereka bisa tega?” hanya itu yang kutanya.
“Dengar,
sebaiknya kau diam dan ikuti saja permainan mereka. Sudah terlambat bagimu jika
mendadak kau punya pikiran ingin kabur dan keluar dari semua omong kosong ini.”
“Aku
tanya, bagaimana kau dan lainnya bisa tega?!” sedikit berteriak dan kutatap
wajah Timmy dengan tajam.
Timmy
menunduk. Menghela nafas. Dan dia menceritakan hal yang bagiku terlalu bengis
unuk didengar.
Kakek kehilangan
Putri satu satunya saat ia tinggal di Belanda. Menurut Timmy, ayah dan paman tidak
pernah dipandang oleh kakek. Kakek seperti hanya menyayangi putrinya yang dulu
meninggal. Ayah dan Paman berpikir, mungkin jika keduannya segera menikah dan
memiliki seorang putri maka kakek akan sedikit terhibur dan mau membuka hati
untuk menatap mereka.
“Lalu apa yang
terjadi?” tanyaku masih pada Timothy.
“Kau tau, istri
pamanku tidak bisa punya anak. Dan Ibuku, hanya bisa melahirkan bayi laki laki
setelah mencoba melahirkan beberapa kali. Seperti yang kau lihat, aku yang
tertua dan ternyata bukan yang benar benar diinginkan. Aku dan ketiga adikku
seperti kau. Tidak benar benar diinginkan.”
“Tunggu dulu!
Katamu tadi ayah berniat menghibur hati kakek yang sedih atas kepergian
putrinya? Tapi kenapa ..”
“Ya memang
begitu awalnya. Tapi perlakuan kakek terlalu berlebihan pada ayah dan ibu
ketika ibu melahirkan Thomas, anak kedua yang ternyata juga laki laki.”
“Maksudmu
berlebihan?”
“Yah kau tahu
mungkin seperti dibuku cerita atau dongeng terkadang bercerita. Kakek tetap
seolah tidak pernah memandang keberadaan paman maupun ayah. Pada suatu liburan,
ayah, ibu, aku dan Thom berkunjung ke rumah kakek di Belanda. Dan secara tidak
sengaja pada suatu siang Ibu mendengar pembicaraan kakek dengan pengacarannya.”
“Kata ibu kakek
sudah memersiapkan sebagian besar warisan untuk cucu perempuannya, jika ia
punya. Dan jika tidak, sebagian besar harta akan disumbangkan secara sah ke
panti panti sosial yang membutuhkan. Sedang sepersedikit tersisa untuk kami,
para cucu laki-laki. Maka dari itu ibu terus berusaha agar dia mempunyai anak perempuan, karena awalnya
dia pikir kami tidak akan mendapat apa apa jika ia tidak melahirkan anak
perempuan.”
“Tapi ibu gagal
kan?”
Timothy
tersenyum. Dan mengangguk. Kurasa sepertinya bukan tidak peduli. Tapi enggan
berbuat banyak atas tingkah ayah dan ibu.
“Ayah sudah
tidak tahan lagi. Entah mengapa mereka berdua yang dulunya adalah orangtua
baik, kini berubah bagai monster berbulu kelnci. Yang lebih ingin menguasai
harta kakek. Timbang menghibur kesedihn hatinya. Tiga tahun setelah si kembar
Math dan Dave lahir, mereka membuat sandiwara baru...”
Aku tertunduk.
Membayangkan saat itu ayah dan ibu tengah membohongi kakek dengan berkata ibu
sedang mengndung lima bulan dan menurut hasil USG bayinnya adalah bayi
perempuan. Tapi mengapa selama empat
belas tahun kebohongan ini terbungkus rapi?
“Kakek sakit
ketika ‘umurmu’ masih empat tahun. Maksudku tidak benar benar umur nyatamu.
Saat ibu berkata bahwa umur ‘Miranda’ sudah empat tahun, kakek tak sabar ingin
segera berkunjung ke Indonesia, menemuimu. Tapi beliau terserang stroke.
Pemulihan bertahun tahun yang lama yg dibutuhan kakek. Tiap tahun ayah dan ibu
hanya mengirimi kakek foto ‘palsu’ mu yang mereka dapatkan diinternet.”
“Sampai saat
ayah dan ibu mengambilmu dipanti asuhan, hari itu juga mereka mendapat kabar
bahwa satu minggu setelah itu kakek akan berkunjung”
Aku masih
setengah melamun. Mencerna drama yang diceritakan kakakku Timothy padaku. Apa
ini juga bagian dari omong kosong dihidupku? Sulit dimengerti dan terlalu fiksi
untuk dipercayai. Aku kini hanya anak berumur Sembilan belas tahun yang sangat
’berharga’ bagi ayah dan ibuku.
Aku memang sudah
terlalu menyayangi Kakek sejak awal kulihat raut wajahnya yang begitu
menginginkanku. Dan setelah tahu semuannya, aku bahkan tidak memikirkan bahwa
aku adalah kunci warisan itu.
“Miranda?” bisik
Timothy tiba-tiba.
“Ya?”
“Bisakah kau
tetap pura-pura bodoh dan anggap aku tidak pernah menceritakan apapun padamu?”
Aku diam
menghadapi permohonn Timmy barusan. Mungkin aku diam, tapi naluriku pasti berontak.
“Miranda? Kau
mendengarku?”
“Ahh.. Tentu
saja Timm.” Aku berusaha tersenyum sepalsu mungkin.
***
“Ahhhhhhhhh…
Rupanya kalian berdua disini. Turunlah, kakek mencarimu Miranda!”
Tiba tiba dari
jendela kamar Timothy yang terbuka muncul Dave. Sepertinya dia memanjat dari
bawah.
“Hey bodoh! Apa
yang kau lakukan diatas situ? Turunlah! Kau bisa terpeleset!” Timmy sepertinya
kesal karena dikejutkan oleh kedatangan Dave yang tiba tiba.
“Kau yang bodoh!
Siapa suruh berduaan dikamar dengan mengunci pintu segala!” Dave menggerutu
smbil merayap turun .
Timothy agak
tersentak dan segera membuka kunci pintu. Dia melangkah keluar kamar, lalu
menoleh kearahku.
“Sepertinya kata
kata Dave tadi cukup jelas, kakek mencarimu.” Kata Timmy sambul melangkah
pergi.
Aku tetap duduk.
Apa yang akan terjadi setelh hari ini? Haruskah aku mainkan peran ‘putri’ ini
terus menerus?
***