Saturday 16 May 2015

Mimpi dan Secangkir Kopi - "TEMAN BERBAGI"

"Kembali ku sruput nikmatnya kopi panas dini hari ini. Bersama kawan.
Teman.

Aku tidak pernah bahkan sekalipun membayangkan aku mempunyai banyak kalian seperti sekarang.

Mimpi? Iya. Aku pernah memimpikannya tatkala aku menjalani masa khas menengah pertama. Dimana disetiap masa itu selalu ada yg namanya king/queen of freak. Dijauhi, dimusuhi, dikambing hitamkan. Yang bahkan seorang angel pun tidak mampu menolong apa apa.
Klasik. Aku salah satunya. *laugh*

Sampai aku hidup sejauh ini, tumbuh sedewasa ini, merantaui empat kota berbeda. Dan aku temukan setiap mereka.
Kerabat, teman, sahabat, kawan bahkan tak jarang LAWAN.
Disetiap seruput kopi yg aku nikmati tersirat bayangan mereka.
Semarang, Jogja, Bogor, dan Jakarta..
Mereka ada. Dan mereka nyata.

Kebodohanku adalah membiarkan mereka sempat hilang tanpa kesan..
Kesiapanku yg terlalu siap untuk selalu sendiri yg tak jarang membuat mereka pergi.

Bahkan prasangka burukku tentang mereka yang tak menginginkanku kerap kali menjadi nyata.

Lalu salah siapa?
Aku dengan egoisnya tidak mau menyangka ini kesalahanku.
Aku ingin bebas kan ? Ya kan ?

Kusruput lagi..
Bisakah semua diperbaiki?
Semoga..
Dan aku selalu yakin, bahkan terlalu yakin untuk percaya bahwa semua ada jalannya.

Sia sia memang terlalu meratapi yg lalu. Ditengah kelabilan kemauanku saat ini. Disela sela pemahamanku tentang arti keselarasan antara ego dan kenyataan. Mungkin bisa sedikit kuperbaiki semua angkuhku, bodohku, dan segala penyebab yg seharusnya menjadi teman malah menjadi lawan.

Kalian tersayang. Yang terlalu banyak dan tak mampu kusebutkan. Kalian tanpa pengecualian. Jauh didalam lubuk hatiku, jauh disela sela ego tentang kesendirianku.. Kalian selalu ada.. Bukan dalam wujud rupa, tapi kenangan yg memang membuatku mampu berjalan kesini, sampai sejauh ini. Hingga aku bertemu kalian kalian yg lain yang sama berarti untukku.

Ditengah kesiapan akan kesendirianku, aku jauh lebih siap bersama kalian disisiku.

Karena kebebasan yg aku mau, adalah kalian semua kekawananku.

Terimakasih teman.

Sruput demi sruput. Diam. Hening. Memandang kalian yg saling berbagi pengalaman.
Aku bahagia ditengah tengah kalian.

Sruput terakhir. Saatnya aku pulang ☕☕"


Bukan tulisan utama seperti tema Mimpi dan Secangkir Kopi kemarin. Namun kupikir aku harus menuliskannya. Tentang mereka, tentang teman. Yg memang selalu ada disela sela mimpi, keinginan.

Friday 15 May 2015

Mimpi dan Secangkir Kopi - "KEBEBASAN"

Aku tidak pernah benar benar mengerti, apa itu "mimpi". Apakah mimpi hanya sesimpel membuat kopi? Aku tidak pernah benar benar paham. Mimpi, selalu dikaitkan dengan alam bawah sadar kita, angan angan, tidak nyata. Lalu apakah istilah "mengejar mimpi" menjadi suatu yg sia sia? Tentu tidak sesia sia itu. :)


"Lalu apa impianmu?" kurang lebih beberapa pertanyaan serupa itu tak jarang menghujaniku.
Aku bingung. Karena jika disebutkan satu persatu tidak akan cukup ditulis pada sebuah buku. Iya, sebuah buku yg hanya berisi "impianku"
Apa ? Impian? Tentu bukan "impian" itu yg ku maksud. Semua bagiku lebih tepat disebut keinginan. :D


"Lalu, bukan berarti kau tak punya mimpi kan?" Oh.. Tidak.. tidak.. bagaimanapun juga aku seorang manusia. Terlalu kejam untuk menyimpulkan bahwa aku tidak punya mimpi. Meskipun harus ku akui hampir setiap malam aku tertidur pulas dan jarang memimpikan apa itu yg disebut 'mimpi'.

Mama dan Papaku tak jarang melontarkan harapan harapan dan berkat, agar "mimpi"ku semua dapat terwujud. Tapi aku tak tau mimpi yg manakah itu. Setidaknya itu pemikiranku selama ini. Sampai titik dimana aku tertegun sembari menapaki langkah menuju kantor.


"Apa mimpiku?"
Disitu aku mulai meragukan beberapa dari keyakinanku. Goyah. Sedikit merapuh.
Mengingat keinginanku adalah kebebasan. Dan kebebasan adalah yg mungkin aku inginkan.


Sudah kah aku 'bebas'? Kebebasan seperti apa yg aku mau?

Sampai aku tersadar bahwa aku terlalu siap untuk sendiri. Aku terlalu menikmati kesendirianku ditenggah kerumunan orang berlalu lalang. Aku terlalu suka mencoba hal hal baru dan bertemu banyak orang. Bagiku lebih mudah mencari relasi disana sini dengan "kesendirianku"

How about my relationship? Yes I do it !
Of course I have a boyfriend like another girl! 

Bagaimana orang 'bebas' sepertiku bisa bertahan dalam suatu komitmen hubungan?
Entahlah ! Semua itu tidak mudah.
Aku sering merasa harus mengakhiri semua komitmen yang ada dan kembali 'terbang bebas melewati setiap mimpiku'. Dan mungkin ketika aku sudah puas dan lelah nanti, komitmen akan menghampiriku dengan sendirinya.
Itu hanya sepersekian persen niatku untuk benar benar "sendiri".

Ayolah... kalian pasti berpikir aku bodoh ?
Atau egois?
Oke.. tidak masalah..
Kebanyakan wanita memang jarang yg berpikir gila sepertiku.
Tapi kembali lagi ke "mimpi" atau lebih tepatnya keinginan buatku. Pernahkah kalian perempuan merasa bahwa yg kalian butuh hanyalah teman?
Iya.. Hanya teman-teman. Lelaki dan perempuan. Yang saling menjaga bahkan bertengkar. Kemudian kembali hangat lagi.
Pernahkah?
Aku pernah.

Lalu bagaimana dengan kegiatan kegiatan baru? Bertemu orang orang baru. Membangun relasi baru. Alangkah mudahnya semua terjalin jika kita "sendiri"?
Dan bayangkan betapa sulitnya 'bebas' kemanapun jika kita "tidak sendiri"? Bisa kau bayangkan?
Ya.. Aku bahkan bisa merasakannya.

Tapi sekali lagi ini bukan tentang ketidak sendirianku. Ini masih tentang keinginanku yg sedikit berbeda..

FREE..

Tanpa harus menyakiti siapapun. Bersosialisasi dengan siapapun. Menjalin koneksi dengan siapapun. Bergabung dengan organisasi manapun. Traveling kemanapun. Tanpa ada yg memberatkan..
Tanpa ada yang memberi ganjalan..


Hahaha..
Benar benar tidak semudah mengaduk secangkir kopi bukan ??




"Tapi beginilah hidup. Tidak ada hidup yang mudah.."

Mungkin dari kalian merasa berjuang mati matian, untuk sekedar mencapai sepersekian persen dari mimpi kalian.
Disini akupun demikian.. Berperang antar ego dan kenyataan agar selalu berjalan beriringan.
Bagai mana aku bisa merasakan kebebasan tanpa harus menyangkal ketidak sendirianku. Bagaimana caraku ingin menjadi diriku sendiri tanpa harus menyakiti orang lain.

Karena 'mimpi' punya cara raihnya masing masing ..



Thursday 30 April 2015

Masa Lalu

detik mengulurkan waktunya
sekian petik nada terdengar
lirih..
entah indah,
entah pahit,


semua rasa menghambar
selangkah kenangan memudar


padam..
bukan lagi kurasa kehilangan
tapi takut..
aku takut semua hilang
tanpa setetes sisa harapan
aku takut..
hujan yang manis ini,
menghapus puing puing rasa
rasa yang dulu sempat tertawa melihat kita bersatu,
rasa yang pernah tersumpahkan..
ketika kita saling memandang

didepan altar Gereja..

Wednesday 21 November 2012

Thea


Sebelumnya saya berterimakasih untuk sebuah band indie dan lagu-lagunya yang telah mendorong saya menuliskan coretan ini. Inspirasi dari sebuah lagu yang bahkan tidak kuketahui pasti apa makna dibalik liriknya .
Black Star - MIASMA

                Aku sama sekali tak mengerti jalan pikiran manusia manusia disekelilingku. Entah apa yang membuat mereka begitu kokoh dan teguh pada egoisme masing masing. Entah ayah, entah ibu, entah paman maupun bibiku . Tak terkecuali kakak kakakku.
                Mereka begitu kerap mendesakku masuk dalam pikiran pikiran berbeda mereka. Seolah aku seperti seorang anak kecil yang bingung akan kemana arah tujuanku, dan seolah olah mereka bagai pahlawan yang mengantarku pada ‘jalan’ yang menurut merek benar.
                Entahlah. Apapun yang selalu mereka utarakan, aku selalu punya pilihan sendiri atas hidupku. Aku tidak pernah percaya pada siapapun. Karna memang aku tidak pernah punya siapa siapa untuk kupercayai. Lalu mereka? Ya, mereka tidak pernah benar benar ada. Sedikitpun mereka hampa!
***
                Apakah kau tahu rasanya dipungut dari panti asuhan? Apakah kau pernah merasakan seolah orang orang disekelilingmu hanya membual dan menjanjikan hal-hal yang indah, tapi tak pernah terealisasikan? Umurku mungkin masih kecil pada waktu itu. Namun logika dan perasaanku rupanya tumbuh lebih dewasa dari hanya sekedar fisik anak-anakku.
                Aku tak cukup pandai, tapi aku cukup paham mengapa ayah dan ibu ‘angkatku’ memungutku dari sebuah panti asuhan miskin, yang bahkan tidak perlu repot mengurus surat surat pengadopsian anak. Mungkin Suster Bernadeth sudah lelah dan ingin segera membuang seluruh isi panti, kepada siapapun orang yang ingin memungut anak secara ‘gratis’.
                Mungkin tak benar benar gratis, karna ketika ibu membawaku masuk kedalam mobil, kulihat ayah menyerahkan amplop cokelat yang tak terlalu tebal pada Suster Bernadeth. Suster paruh baya itu menatapku seolah merasa bersalah karena membiarkanku pergi dari tempat itu secara tidak ‘terhormat’.
                Ya, mereka tidak benar benar ingin mengadopsiku sebagai seorang ‘anak’. Melainkan hanya sebagai status palsu. Aku tidak mengerti bahwa aturan dikeluarga ayah mengharuskannya mempunyai keturunan perempuan. Dan memang kulihat ibu hanya memiliki anak laki-laki. Empat anak laki-laki yang kurasa usianya cukup jauh dari usiaku.
                “Jadi siapa namamu?” ayah yang memulai percakapan itu.
                “Thea” jawabku singkat.
                “Nama yang bagus,” celetuk ibu.
                “Berapa umurmu sayang?” saat itu kurasa ayah lah yang paling baik.
                “Empat belas tahun, Tuan,”
                Ayah hanya tertawa kecil mendengarku memanggilnya ‘Tuan’. Tapi kurasa ibu tidak terlalu menyukainya. Dia menatapku tajam. Mengamati wajah dan tubuhku.
                “Dengar gadis kecil, sudah tidak ada waktu lagi untuk masa perkenalan. Ingat, panggil aku ibu. Dan orang yang kau panggil tuan tadi adalah ayahmu. Namamu bukanlah Thea. Tapi Miranda . Dan kau adalah … bla.. bla.. bla..”
                Tepat saat itu juga aku tidak ada niat sedikitpun  untuk percaya lagi pada semua bualan dari manusia manusia disekelilingku. Termsuk mereka. Ayah yang saat itu kupikir yang paling baikpun ternyata hanya menginginkan sebuah status bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan.
                Ternyata maksud mereka mengadopsiku karena satu minggu setelah aku dipungut dari panti, Kakek, ayah dari ayahku akan datang menetap dirumah ayah. Dan ternyata selama hampir empat belas tahun ayah dan ibu telah membohongi kakek dengan bualan mereka yang mengatakan bahwa mereka memiliki seorang putri bernama ‘Miranda’.
***
                Bisa kau bayangkan, sekeluar aku dari panti aku menjadi seorang artis yang berperan sebagai cucu kesayangan dari seorang ‘pengusaha kaya’. Aku bisa merasakan betapa kakek sangat menyayangiku. Dan dia benar benar percaya bahwa aku ‘Miranda’-nya yang telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik.
                Oh kakek yang malang. Kenapa kau percaya begitu saja pada semua omongan ayah dan ibu. Lagi kenapa ayah dan ibu harus melakukan ini semua? Membeli ‘putri palsu’ untuk berpura pura menjadi cucu yang baik?
                “Apa kau bodoh? Atau hanya pura pura polos?” celetuk Timothy, kakak tertuaku.
                Aku sempat kaget karna kedatangannya yang tiba tiba dibelakangku. Dia mendengar gumamanku tentang ayah dan ibu rupanya.
                “Maksudmu apa Tim?”
                “Miranda, kau bukan gadis kecil lagi. Apa kau belum sadar bahwa ayah dan ibu mengincar warisan kakek?”
                “Apa? Wa.. wa.. warisan?! Ma.. maksudmu apa Tim?!” aku sedikir telonjak kaget.
                Memastikan telingaku tidak salah mendengar. Kudesak Timmy untuk menjelaskan semua.
Kupikir aku hanya sekedar ‘anak palsu’ untuk melengkapi keluarga besar ini saja. Tapi ternyata kehadiranku berperan lebih jahat dari itu. Apa aku bahagia mendengar bahwa aku adalah kunci utama warisan kakek? Tidak! Yang kuharapkan awalnya hanya mendapat kasih dari ‘orang tua’ yang nyata. Tapi ternyata kebodohanku ini terlalu dimanfaatkan oleh mereka.
                Aku menangis. Bukan hanya karna keadaanku. Tapi karna detik itu ternyata aku sudah menanam kasih yang besar pada kakek. Dan kurasa hanya aku yang mengasihi kakek waktu itu. Sedang mereka seolah menantikan kematian kakek dan segera mendapatkan warisan itu.
“Bodoh! Kenapa kau menangis?” Timmy yang melihat wajahku basah oleh airmata rupanya panik kalau kalau ayah, ibu, atau kakek melihatku begini.
                Timmy menggeretku ke lantai atas, menuju kamarnya. Dia menutup rapat pintu dan mendudukkanku di samping tempt tidurnya.
                “Bagai mana mereka bisa tega?” hanya itu yang kutanya.
                “Dengar, sebaiknya kau diam dan ikuti saja permainan mereka. Sudah terlambat bagimu jika mendadak kau punya pikiran ingin kabur dan keluar dari semua omong kosong ini.”
                “Aku tanya, bagaimana kau dan lainnya bisa tega?!” sedikit berteriak dan kutatap wajah Timmy dengan tajam.
                Timmy menunduk. Menghela nafas. Dan dia menceritakan hal yang bagiku terlalu bengis unuk didengar.
Kakek kehilangan Putri satu satunya saat ia tinggal di Belanda. Menurut Timmy, ayah dan paman tidak pernah dipandang oleh kakek. Kakek seperti hanya menyayangi putrinya yang dulu meninggal. Ayah dan Paman berpikir, mungkin jika keduannya segera menikah dan memiliki seorang putri maka kakek akan sedikit terhibur dan mau membuka hati untuk menatap mereka.
“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku masih pada Timothy.
“Kau tau, istri pamanku tidak bisa punya anak. Dan Ibuku, hanya bisa melahirkan bayi laki laki setelah mencoba melahirkan beberapa kali. Seperti yang kau lihat, aku yang tertua dan ternyata bukan yang benar benar diinginkan. Aku dan ketiga adikku seperti kau. Tidak benar benar diinginkan.”
“Tunggu dulu! Katamu tadi ayah berniat menghibur hati kakek yang sedih atas kepergian putrinya? Tapi kenapa ..”
“Ya memang begitu awalnya. Tapi perlakuan kakek terlalu berlebihan pada ayah dan ibu ketika ibu melahirkan Thomas, anak kedua yang ternyata juga laki laki.”
“Maksudmu berlebihan?”
“Yah kau tahu mungkin seperti dibuku cerita atau dongeng terkadang bercerita. Kakek tetap seolah tidak pernah memandang keberadaan paman maupun ayah. Pada suatu liburan, ayah, ibu, aku dan Thom berkunjung ke rumah kakek di Belanda. Dan secara tidak sengaja pada suatu siang Ibu mendengar pembicaraan kakek dengan pengacarannya.”
“Kata ibu kakek sudah memersiapkan sebagian besar warisan untuk cucu perempuannya, jika ia punya. Dan jika tidak, sebagian besar harta akan disumbangkan secara sah ke panti panti sosial yang membutuhkan. Sedang sepersedikit tersisa untuk kami, para cucu laki-laki. Maka dari itu ibu terus berusaha agar  dia mempunyai anak perempuan, karena awalnya dia pikir kami tidak akan mendapat apa apa jika ia tidak melahirkan anak perempuan.”
“Tapi ibu gagal kan?”
Timothy tersenyum. Dan mengangguk. Kurasa sepertinya bukan tidak peduli. Tapi enggan berbuat banyak atas tingkah ayah dan ibu.
“Ayah sudah tidak tahan lagi. Entah mengapa mereka berdua yang dulunya adalah orangtua baik, kini berubah bagai monster berbulu kelnci. Yang lebih ingin menguasai harta kakek. Timbang menghibur kesedihn hatinya. Tiga tahun setelah si kembar Math dan Dave lahir, mereka membuat sandiwara baru...”
Aku tertunduk. Membayangkan saat itu ayah dan ibu tengah membohongi kakek dengan berkata ibu sedang mengndung lima bulan dan menurut hasil USG bayinnya adalah bayi perempuan. Tapi mengapa selama  empat belas tahun kebohongan ini terbungkus rapi?
“Kakek sakit ketika ‘umurmu’ masih empat tahun. Maksudku tidak benar benar umur nyatamu. Saat ibu berkata bahwa umur ‘Miranda’ sudah empat tahun, kakek tak sabar ingin segera berkunjung ke Indonesia, menemuimu. Tapi beliau terserang stroke. Pemulihan bertahun tahun yang lama yg dibutuhan kakek. Tiap tahun ayah dan ibu hanya mengirimi kakek foto ‘palsu’ mu yang mereka dapatkan diinternet.”
“Sampai saat ayah dan ibu mengambilmu dipanti asuhan, hari itu juga mereka mendapat kabar bahwa satu minggu setelah itu kakek akan berkunjung”
Aku masih setengah melamun. Mencerna drama yang diceritakan kakakku Timothy padaku. Apa ini juga bagian dari omong kosong dihidupku? Sulit dimengerti dan terlalu fiksi untuk dipercayai. Aku kini hanya anak berumur Sembilan belas tahun yang sangat ’berharga’ bagi ayah dan ibuku.
Aku memang sudah terlalu menyayangi Kakek sejak awal kulihat raut wajahnya yang begitu menginginkanku. Dan setelah tahu semuannya, aku bahkan tidak memikirkan bahwa aku adalah kunci warisan itu.
“Miranda?” bisik Timothy tiba-tiba.
“Ya?”
“Bisakah kau tetap pura-pura bodoh dan anggap aku tidak pernah menceritakan apapun padamu?”
Aku diam menghadapi permohonn Timmy barusan. Mungkin aku diam, tapi naluriku pasti berontak.
“Miranda? Kau mendengarku?”
“Ahh.. Tentu saja Timm.” Aku berusaha tersenyum sepalsu mungkin.
***
“Ahhhhhhhhh… Rupanya kalian berdua disini. Turunlah, kakek mencarimu Miranda!”
Tiba tiba dari jendela kamar Timothy yang terbuka muncul Dave. Sepertinya dia memanjat dari bawah.
“Hey bodoh! Apa yang kau lakukan diatas situ? Turunlah! Kau bisa terpeleset!” Timmy sepertinya kesal karena dikejutkan oleh kedatangan Dave yang tiba tiba.
“Kau yang bodoh! Siapa suruh berduaan dikamar dengan mengunci pintu segala!” Dave menggerutu smbil merayap turun .
Timothy agak tersentak dan segera membuka kunci pintu. Dia melangkah keluar kamar, lalu menoleh kearahku.
“Sepertinya kata kata Dave tadi cukup jelas, kakek mencarimu.” Kata Timmy sambul melangkah pergi.
Aku tetap duduk. Apa yang akan terjadi setelh hari ini? Haruskah aku mainkan peran ‘putri’ ini terus menerus?
***

Thursday 11 October 2012

kesepian ini

disini, ragaku pergi jiwa melayang tak sadar kenyataan , mulut berucap celoteh terngiang , dibalik kelambu mendung angin menari menyeruak, hawa matirasa .. Dingin .. Dibalik jendela berdebu pohon bergoyang merisau bulan hidup lagi .. Sunyi ..